Kamis, 11 Juni 2009

Syekh abdurrahman shiddiq. Pentingnya ilmu kalam,

PENTINGNYA ILMU KALAM (TEOLOGI)

PENDAHULUAN

Konsekuensi ajaran tauhid yang seperti itu terhadap penganutnya adalah berupa dorongan kuat, dengan mengerahkan semua potensinya, untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang telah dipikulkan kepadanya oleh Islam. Yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan disini adalah kandungan ajaran Islam itu sendiri yang mana setiap muslim dituntut untuk mengetahui dan memahaminya.
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah, yang disebut pertama merupakan kalam Allah yang diwahyukan-Nya kepada Nabi Muhammad s.a.w., melalui Malaikat Jibril, sedangkan yang kedua merupakan tradisi (Sunnah) Nabi, baik dalam bentuk ucapan, tingkah laku maupun ketetapan (taqrir) dari Nabi. Kedua-duanya (Al-Qur’an dan Sunnah Nabi), secara gradual menduduki posisi sentral dalam bangunan ajaran Islam, atau dengan kata lain, berbicara tentang kandungan ajaran Islam harus merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
A. Pandangan Ulama terhadap Eksistensi Ilmu Kalam (Teologi)
Ajaran Islam menuntut agar setiap muslim mempunyai keyakinan (akidah) tertentu dalam masalah ketuhanan sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, sumber keagamaan dan moral yang utama dalam Islam seringkali melontarkan ide agar terciptanya masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang shaleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki keyakinan (akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui juga memberikan bimbingan dalam rangka terciptanya cara yang layak bagi manusia dalam rangka berhubungan dengan Tuhan.
Dari ide Al-Qur’an tersebut para pakar Muslim yang tergolong ke dalam kelompok Mutakallimin, menciptakan dan mengembangkan sebuah ilmu tentang kebutuhan (teologi Islam) yang kemudian dikenal dengan sebutan ilmu kalam.
Secara historis dapat diketahui bahwa kaum Hanbaliah merupakan kelompok yang paling keras menolak kehadiran ilmu kalam (Teologi) dalam sistem ajaran Islam.
Pada umumnya kaum Hanbaliah melihat problematika ilmu kalam (teologi) yang terpenting adalah terletak pada metode argumentasinya yang tidak sesuai dengan tuntutan Al-Qur’an dan Sunnah karena menggunakan metode dialektis dan rasional, yang pada dasarnya pinjaman dari luar, khususnya filsafat Yunani.
Pandangan ini disanggah oleh kaum Mutakallimin, terutama oleh Al-Asy’ari. Menurut al-Asy’ari, Nabi Muhamamd memang tidak merumuskan ilmu kalam (teologi), tetapi dasar-dasar pemikiran dalam ilmu kalam (teologi) yang dikembangkan kaum Mutakallimin terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Kaum Mutakallimin mempunyai pandangan bahwa metode dan teori rasional-lah yang dapat menghasilkan pengetahuan yang benar, oleh karena itu mempelajarinya merupakan suatu keharusan (wajib). Pandangan dan anggapan inilah, kata Ibnu Taimiyyah yang membuat kaum Mutakallimin mengklaim bahwa metode kalam yang mereka sodorkan adalah satu-satunya metode yagn absah, tepat untuk menjelaskan ushul al-din, dan oleh karena itu pula mereka menganggap ilmu kalam (teologi) yang mereka kembangkan menempati posisi penting dalam sistem ajaran Islam.
Ibn Taimiyyah menuduh kaum Mutakallimin telah mengabaikan metodologi yang ditawarkan Al-Qur’an dalam menjelaskan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ushul al-din. Tuduhan ini erat kaitannya dengan kepercayaannya bahwa Al-Qur’an meskipun tidak pantas disebut selain sebagai kalam, mengandung ajaran yang sesungguhnya pantas di sebut ushul al-din itu. Al-Qur’an dan Sunnah, menurutnya mengajukan bukti-bukti dalam berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan kebutuhan manusia. Al-Qur’an mengajukan bukti dalam bentuk berita (ikhbar) sederhana, peringatan (tanbih), bimbingan (irsyad), dan dalam bentuk argumen-argumen rasional yang bersifat badihi. Sehubungan dengan itu, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa tidak seorang pun mendapat petunjuk kecuali orang-orang yang ditunjuki oleh Tuhan dengan wahyunya.
Ibn Taimiyah setuju dengan sikap dan perlakuan kasar Imam al-Syafi’I terhadap kalam dan Mutakallimin. Imam al-Syafi’i pernah mengatakan bahwa ahl al-kalam haruslah disingkirkan dan dijadikan momok karena mereka telah terbukti membawa hasil kerja nalar mereka, dan berbahaya bagi umat.
Ulama lain yang mempunyai sikap anti kalam yang cukup ekstrim adalah Fakhr al-Din al-Razi. Kalama menurutnya lebih banyak memberikan keraguan daripada kepastian. Al-Razi ini pernah mengatakan bahwa ia telah lama melakukan perenungan yang mendalam tentang metodologi kalam dan prosedur-prosedur yang dilalui filsafat, dan ia menemukan bahwa kedua-duanya tidak pernah dapat menyembuhkan penyakit sebagaimana kedua-duanya tidak pernah dapat melepaskan lapar dan dahaga iman. Metodologi yang terbaik menurutnya adalah apa yang disodorkan oleh Al-Qur’an.
Meskipun ulama-ulama yang disinggung diatas tampak begitu keras mengkritik dan menolak ilmu kalam (teologi), namun tidaklah berarti mereka sama sekali meninggalkan pembahasan-pembahasan teologis dalam kerja intelektual keagamaan mereka.
Sebenarnya kritik yang dilontarkan ulama-ulama tersebut sebagaimana telah diungkapkan di atas, lebih tertuju kepada persoalan metodologis yang dipergunakan oleh kaum Mutakallimin dalam merumuskan kalam formal yang hasil bersihnya adalah berupa rumusan-rumusan mengenai ushul al-din yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Tetapi kritik dan tawaran itu segera mendapat sanggahan balik dari pihak pembela kalam (teologi). Di antara ahl-kalam yang paling bersemangat menanggapi kritik-kritik terhadap ilmu kalam tersebut adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari.
Pembelaan al-Asy’ari terhadap kaum kalam selain karena ia terlibat dalam merumuskannya, juga karena teologi yang dikembangkannya tidak terlepas dari sasaran kritik keras, terutama yang datang dari kaum Hanbaliah, walaupun ia sendiri sebenarnya telah berusaha mendekatkan faham keagamaannya kepada Hanbalisme.
Dalam penjelasannya, al-Asy’ari menganggap orang-orang yang tidak menrima kehadiran ilmu kalam sebagai orang-orang yang menjadikan kejahilan sebagai modal, dan oleh karena itulah mereka merasa berat untuk melakukan pembahasan-pembahasan mengenai ushul al-din dengan menggunakan metode rasional (al-nazhr).
Al-Asy’ari melihat argumen-argumen yang dikemukakan oleh pengkritik kalam adalah argumen-argumen yang tidak mempunyai dasar sama sekali. Upayanya menolak tuduhan dan argumen-argumen mereka itu, al-Asy’ari sebagaimana dikutip oleh al-Badawi mengemukakan tiga alasan penting.
1. Kalau pengkritik kalam menganggap ilmu kalam yang diciptakan oleh kaum Mutakallimin sebagai hasil perbuatan bid’ah dan menyesatkan, lantaran Nabi menurut mereka tidak pernah menganjurkan untuk membahas ilmu seperti itu, maka al-Asy’ari menolak dan membantah argumen ini dengan mengemukakan alasan: Nabi pun tidak pula pernah berkata: “barang siapa yang membahas ilmu kalam, Jadikanlah ia sebagai pembawa bid’ah dan kesesatan”.
2. Anggapan pengkritik kalam bahwa persoalan-persoalan yang dibahas dalam ilmu kalam bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, menurut al-Asy’ari adalah anggapan yang keliru sebab nyata sekali bahwa hal-hal yang dibahas di dalam ilmu kalam itu, demikian al-Asy’ari berargumen, berakar dari al-Qur’an dan Sunnah.
3. Seluruh persoalan teologis yang dibahas oleh ulama-ulama kalam itu sebenarnya bukanlah persoalan-persoalan yang tidak diketahui oleh Nabi. hanya saja dari masa Nabi sampai kepada masa sahabat, meskipun persoalan-persoalan tersebut ada dasarnya pada Al-Qur’an dan Sunnah, kebetulan tidak menjadi bahasan yang sistematis di kalangan sahabat.

Demikianlah pembelaan al-Asy’ari terhadap ilmu kalam yang pada prinsipnya merupakan sanggahan balik terhadap keberatan kaum Hanbaliah terhadap disiplin ilmu tersebut.
Hampir semua ahli kalam berpendapat bahwa nalar merupakan jalan untuk membuka pengetahuan, terdapat pengetahuan tentang ketuhanan. Kaum Mu’tazilah umpamanya, menghargai akal atau daya nalar tanpa mengabaikan wahyu karena mereka menyadari bahwa kedua-duanya sama-sama berasal dari Tuhan.
Abu Ma’in dari kubu Ahl al-Sunnah berpendapat bahwa setiap orang yang sudah balligh harus sanggup membuktikan adanya Tuhan, pencipta alam semesta, melalui argumen rasional. al-Baqillani mendeskripsikan pandangan Al-Asy’ariah yang mewajibkan seseorang karena yang demikian itu adalah perintah syara’. Ia menyatakan bahwa yang pertama kali diwajibkan Allah atas hamba-hamba-Nya, dan berargumen secara rasional dengan bukti kekuasaan-Nya sebab Allah tidak dapat diketahui begitu saja dan tidak dapat dicapai dengan pandangan empiris.
Imam al-Zarkasyi juga melihat upaya yang dilakukan oleh kaum Mutakallimin sebagai upaya yang positif. Ia menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada argumen dan dalil pembagian dan pembatasan terhadap semua pengetahuan aqliyyan dan sam’iyyah melainkan al-Qur’an juga membicarakannya.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat perbedaan pandangan ulama sejak dulu tentang keperluan disiplin ilmu kalam dan membantu umat untuk mendekati persoalan keagamaan, terutama yang bersifat ‘aqadiyyah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan pandangan tersebut berakar pada perbedaan ulama dalam menilai akurasi pengetahuan yang ditimbulkan oleh capaian-capaian akal atau nalar.
B. Pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq Terhadap Ilmu Kalam
Berdasarkan karya-karya tulisnya, Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat dikatakan tidak melibatkan diri secara eksplisit dalam diskusi-diskusi yang mewarnai sikap pro-kontra terhadap kehadiran dan keabsahan ilmu kalam (teologi) sebagai ilmu tentang ushul al-din. Walaupun demikian, secara implisit tidak dapat terhindar dari pengaruh diskusi-diskusi tersebut. Oleh karena itu pula ia bebas menentukan pandangan dan sikapnya mengenai pentingnya ilmu kalam dalam menjelaskan akidah islamiah.
Metode ilmu kalam menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq dapat diandalkan untuk mengantarkan umat kepada tingkat pemahaman dan penghayatan yang benar tentang ushul al-din.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq menyatakan bahwa mengenali dan mempelajari aqai’id al-iman, itu merupakan suatu keharusan atau kewajiban yang bersifat individual (fardhu ‘ain) bagi setiap mukallaf. Berdasarkan ini saja, cukup kuat untuk dapat dijadikan alasan bahwa Syeikh ini benar-benar memberikan kedudukan yang strategis kepada ilmu kalam (teologi) dan mendapatkannya sebagai sains keislaman yang tidak boleh diabaikan oleh setiap Mukallaf.
Meskipun Syeikh Abdurrahman Shiddiq menghargai arti penting ilmu kalam, namun tampaknya ia juga mengakui bahwa metode yang disodorkan dalam ilmu kalam bukanlah satu-satunya metode yang dapat menghantarkan orang kepada suatu bentuk keyakinan (akidah) yang sesungguhnya. Bahkan ia melihat segi keterbatasan ilmu kalam justru terletak pada metode rasional (al-nazhar) yang diterapkan di dalamnya untuk menangkap hakikat kebenaran dari materi akidah. Secara fundamental, Syeikh ini kelihatannya ingin mendukung metode agnostisisme mengenai sifat Tuhan yang mutlak dan hakiki, dengan menyatakan bahwa “Dia dapat dikenal sejauh Dia menganugerahkan ma’rifat sufistik kepada manusia”. Dengan ini capaian tasawuf dapat memberi makna kepada keyakinan (akidah) yang dihasilkan oleh ilmu kalam.
Dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, antara ilmu kalam dan ilmu tasawuf, secara struktur keilmuan, keduanya mempunyai hubungan.
Pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq tampaknya sejalan dengan pandangan al-Ghazaly. Al-Ghazaly sebagaimana diketahui, sudah berusaha keras melakukan pendalaman makna terhadap kepercayaan-kepercayaan yang bersifat rasional yang dihasilkan oleh ilmu kalam, yang secara an-sich di pandangnya tidak merupakan iman yang hidup.
Berbeda dengan Al-Ghazaly, Syeikh Abdurrahman Shiddiq menganggap ilmu kalam tidak berbahaya bagi orang-orang awam. Ini terlihat dari pandangannya yang tidak membedakan kualitas mukallafin dalam kewajiban mereka untuk mempelajari dan mendalami ilmu kalam. Sedangkan al-Ghazaly melarang orang-orang awam mendalami ilmu kalam karena hal itu hanya akan menambah bodoh mereka, dan bahkan berbahaya bagi kemantapan akidah mereka.
Kepercayaan teguh Syeikh Abdurrahman Shiddiq kepada metode kalam merupakan implikasi yang wajar dari kepercayaannya kepada capaian akal dalam menggunakan argumen-argumen rasional, yang tidak bertentangan dengan dalil naqliyyah untuk pembuktian ushul al-din, yang menjadi dasar bagi kemantapan akidah.

BAB IV
MANUSIA DAN HUBUNGANNYA
DENGAN TUHAN

A. Akal Manusia dan Fungsi Wahyu
Di dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ternyata persoalan akal dan wahyu menjadi bahan diskusi yang serius di kalangan para pakar Islam, terutama di kalangan filosofi muslim dan kaum Mutakallimin.
Bagi kaum Mutakallimin, ilmu kalam (teologi) sebagai ilmu yang membahas masalah-masalah ketuhanan dan masalah hubungan timbal balik antara manusia dan Tuhan, sudah barang tentu memerlukan akal dan wahyu sebagai sumbernya. Akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia secara potensial berupaya sedemikian rupa membangun preposisi-preposisi logis sehingga dapat membawa manusia sampai kepada pengetahuan yang utuh dalam masalah ketuhanan. Sedangkan wahyu yang diturunkan kepada manusia membawa pengkhabaran, berisikan penjelasan-penjelasan yang perlu mengenai masalah ketuhanan, manusia, serta kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan.
a. Hakikat akal bagi manusia
Akal menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq, merupakan daya untuk berfikir bagi manusia dalam rangka mencari kebenaran yang kemudian menjadipenetahuanya. Itulah sebabnya Syeikh Abdurahman Shiddiq menjuluki orang yang mempunyai kemampuan berfikir sebagai ahl al-nazhar.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang mengukuhkan bahwa akal secara potensial memang dimiliki oleh setiap orang normal. Tetapi kenyataannya tidak setiap orang memanfaatkan potensi tersebut menurut semestinya. Akal yang berfikir secara rasional (al-nazhar), dalam pandangannya, akan menghasilkan capaian-capaian pengetahuan (kebenaran) yang kemudian dapat membawa manusia kepada keselamatan.
Kepercayaan Syeikh Abdurrahman Shiddiq terhadap capaian akal dalam memperoleh pengetahuan (kebenaran) disebabkan oleh pandangannya yang positif terhadap tabi’at dan kerja akal itu sendiri. Akal menurutnya adalah nur yang rohani sifatnya, yang dengannya semua orang memperoleh ilmu dharuri dan nazhari. Yang dimaksud dengan nur disini adalah potensi suci dari kebenaran yang berasal dari yang Maha Suci, yaitu Allah. Kata “nur” berasal dari Bahasa Arab yang berarti cahaya. Akal disebut sebagai nur karena ia merupakan sarana yang mampu memerangi manusia kepada jalan kebenaran. Dengan demikian, akal menurut pandangan Syeikh ini merupakan hal yang bersifat immateri.
Apabila akal potensial berfungsi sebagai daya untuk berfikir rasional dalam diri seseorang, maka akal itu akan membawa derajad manusia menjadi tinggi dan mulia di sisi Tuhan.
Penghargaan Syeikh Abdurrahman Shiddiq kepada akal tidak terlepas dari pandangan positifnya terhadap ilmu pengetahuan. Akal baginya, mempunyai hubungan erat dengan ilmu. Ilmu tidak akan dapat berkembang tanpa pendayagunaan akal. Akal dengan potensinya, membangun dalil-dalil rasional, merupakan dasar bagi tercipta dan berkembangnya pengetahuan tentang kebenaran. Syeikh ini menggambarkan akal sebagai anugerah Tuhan yang sangat indah justru karena akal lah yang membangun argumen-argumen yang menyampaikan manusia kepada pembuktian-pembuktian rasional, yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan bagi manusia.
Ilmu yang dimaksud oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq bukanlah sekedar dalam pengertian “mengetahui,” tetapi lebih dari itu yaitu, dalam pengertian “mengenal” (ma’rifat). Pengetahuan dalam arti ma’rifat ini menurutnya merupakan keputusan yang mantap (al-jazm), bersesuaian bagi kebenaran melalui pembuktian-pembuktian menggunakan dalil. Pengetahuan seperti inilah, dalam pandangannya merupakan jalan untuk memperoleh iman atau kepercayaan keagamaan. Dengan demikian, penggunaan akal atau pemikiran rasional dalam soal keyakinan keagamaan, bagi sheikh ini, sangat penting dan fundamental sifatnya sebab dengan demikian orang (mukallaf) akan terhindar dari bentuk iman taqlid.
Demikianlah hakikat akal manusia dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq. Dari pemaparan tersebut, secara kongkrit dapat dikatakan bahwa Syeikh ini tergolong ulama yang mengukuhkan pentingnya akal bagi kehidupan manusia. Akal sebagai daya berfikir bagi manusia, dapat melahirkan dan mengembangkan pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya, amat diperlukan oleh manusia dalam hidupnya.
b. Kekuatan Akal dan Fungsi Wahyu dalam Sistem Teologi Syeikh Abdurrahman Shiddiq.
Pembahasan mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu dalam sistem teologi Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak dapat dilepaskan dari pandangan Syeikh ini tentang kemampuan akal manusia dalam mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia sebagai makhluknya, dan berapa pula fungsi wahyu dalam masalah-masalah pokok teologis tersebut.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak hanya mampu menangkap fenomena-fenomena lahiriah dan membuat konsep-konsep tentangnya, tetapi akal dalam batas-batas tertentu, mampu memikirkan tentang sesuatu yang bersifat metafisik. Manusia dengan bantuan akalnya yang berfikir, dapat mengenal adanya Tuhan. Dengan memperhatikan gejala-gejala alam yang bersifat baharu (hadist), orang dengan menggunakan akalnya akan sampai kepada kesimpulan bahwa dibalik yang baharu mesti ada wujud yang tidak bersifat baharu, yang karenanya yang baharu menjadi wujud, atau dengan kata lain, yang hadist ini mesti ada yang menciptakannya (muhdist) yaitu Tuhan.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, merupakan saran yang ampuh atau dalam istilah Syeikh ini merupakan pagar bagi manusia untuk mengenal Tuhan.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak hanya mempunyai kemampuan untuk mengenal adanya Tuhan, tetapi juga dapat memastikan (wajib aqly) bahwa Tuhan mempunyai sifat sempurna dan suci (tanazzuh) dari segala bentuk sifat kekurangan. Tuhan tidak qadim dan tidak baqi sebab wujud yang tidak kekal jelas berhubungan dengan ‘adam (ketiadaan), dan sifat ketiadaan hanya pantas bagi wujud yang baharu, yaitu wujud selain Tuhan. Dengan demikian, jika Tuhan tidak kekal esensi nya maka tentulah ia serupa dengan baharu, yaitu sesuatu yang wujudnya menghendaki yang mengwujudkannya (Muhdist), dan ini ditolak oleh akal. Dari itu, akal juga menetapkan bahwa Tuhan mestilah zat yang tidak menyerupai sesuatu yang baharu (mukhalafatuh Ta’ala li al-hawadist).
Tuhan yang Maha Esa itu harus pula mempunyai sifat-sifat qudrat (kekuasaan), iradat (kemauan), ilmu dan hayat (hidup) yang semuanya merupakan sifat kesempurnaan. Ketiadaan sifat-sifat ini pada Tuhan, tidak diterima oleh akal karena demikian itu akan menyebabkan Dia tidak mempunyai kuasaan, kemauan, pengetahuan dan daya untuk menciptakan alam dan segala yang baharu ini.
Dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, dapat menetapkan kemestian Tuhan mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, walaupun kita melihat argumen-argumen yang diajukan Syeikh ini untuk itu adalah argumen-argumen yang secara umum telah dikembangkan sebelumnya oleh para ahli kalam (teologi), terutama dari golongan Sunny, yang sesungguhnya tidak bebas dari pengaruh metode Hellenis-Aristotelian, tetapi bagaimanapun juga Syeikh, Abdurrahman Shiddiq, tampaknya tetap mempunyai keyakinan yang teguh bahwa dengan Burhan (argumen-argumen demonstratif) seperti itu, orang akan mengenal Tuhan dan sekaligus mentauhidkan-Nya.
Akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, juga mempunyai kemampuan untuk mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Hal ini secara tegas diungkapkannya dalam salah satu bait Syair:
“Akal dan Ilmu sangat pilihan
dapat membezakan jadi beriman
jahat dan baik nyata kelihatannya
lepaslah engkau daripada niran.”
Kutipan syair di atas, mengandung penjelasan dari Syeikh Abdurrahman Shddiq bahwa akal yang berpikir menduduki posisi yang sangat mulia justru karena akal merupakan sarana rohani yang amat menentukan bagi manusia, terutama dalam soal iman atau dengan ungkapan lain, akal memegang peranan penting dalam menentukan kehidupan keberagaman seseorang. Mengetahui adanya kebahagiaan di akhirat, tergantung kepada imannya dan perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan di dunia ini.
Pandangan yang dianut Syeikh Abdurrahman Shiddiq tentang kekuatan akal dan fungsi wahyu dalam menanggapi persoalan-persoalan teologi, lebih jauh dapat pula ditinjau dari penjelasannya mengenai obyek kajian ilmu ushul al-din itu sendiri. Di dalam kitabnya, Fath al-‘Alim, Syeikh Abdurrahman Shiddiq menjelaskan bahwa obyek kajian dan pembahasan ilmu ushul al-din dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, meliputi pembahasan mengenai apa-apa yang wajib (mesti adanya menurut akal) bagi Tuhan, dan apa-apa yang mustahil (mesti tidak ada menurut akal) atas-Nya, serta apa yang harus (ada atau tidak adanya menurut akal) pada-Nya. Kedua, pembahasan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan nabawiyyah, yang meliputi pembahasan tentang apa-apa yang wajib, yang mustahil dan yang harus ada bagi Rasul-rasul Tuhan. Ketiga, mengenai persoalan-persoalan teologis yang bersifat syam’iyyah yaitu, segala masalah yang tiada ditemui ia melainkan daripada pendengaran dan tiada diketahui yang demikian itu melainkan daripada jalan wahyu kepada pesuruh (Rasul) Allah Ta’ala.
Uraian diatas memberikan gambaran yang jelas bahwa akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk; (1), mengenal adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya dalam rangka beriman kepada-Nya. (2), mengetahui apa yang baik untuk dilakukan atau diperbuat oleh manusia, dan apa yang jahat atau tercela untuk dihindari atau ditinggalkannya, dan (3), mengetahui bahwa manusia nanti di akhirat akan terlepas atau terhindar dari niran (siksaan neraka).
Hukum aqly (hukum akal) adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan tanggapan akal terhadap sesuatu, baik yang bersifat dharuri (mudah dicerna oleh akal) maupun yang bersifat nazhari (teoritis). Sehubungan dengan itu maka hukum akal terbagi atas tiga macam yaitu, wajib, mustahil dan jaiz (harus).
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum syar’iy menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq adalah kalam Allah Ta’ala yang merupakan taklif (tugas keagamaan) dan wadha’ (berlaku baginya). Ditinjau dari bentuk kalam atau firman Allah kepada manusia maka hukum syar’iy yang bersifat taklifi itu dapat dibagi menjadi lima macam kategori hukum yaitu; Wajib, Sunnat (mandub), Haram, makruh, dan Mubah.
Adapun hukum ‘ada’iy (hukum adat), menurut definisi yang diberikan oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq adalah menetapkan suatu keadaan bagi sesuatu (yang bersifat empirik) atau meniadakannya melalui percobaan-percobaan yang berulang-ulang.
Diantara ketiga macam hukum (aqliy, syar’iy, dan ‘ada’iy) yang telah dijelaskan diatas, hukum syar’i-lah menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq yang hanya mempunyai nilai taklif bagi manusia.
Dari penjelasan diatas nyatalah bahwa akal dalam pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib, dan karena itu kewajiban-kewajiban manusia tidak dapat ditentukan oleh akal. Wahyulah yang menjelaskan dan menetapkan kewajiban-kewajiban manusia tersebut.

B. Paham Kebebasan Manusia dan Determinisme
Suatu paham yang sudah diketahui secara umum dalam teologi Islam adalah paham yang mengatakan bahwa; wujud ada dua yaitu; Tuhan sebagai Khaliq dan alam sebagai makhluk-Nya. Manusia merupakan bagian dari makhluk Tuhan, yang biasanya disebut sebagai alam kecil (micro-cosmos) dalam rangka membandingkannya dengan alam semesta (macro-cosmos).
Fokus bahasan ini pada prinsipnya ditujukan untuk melihat pemikiran (paham) Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengenai persoalan af’al al-ibad tersebut.

1. Paham Jabariah
Dalam Fath al-‘Alim, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengungkapkan bahwa jabariah adalah paham kaum yang menetapkan segala perbuatan manusia, ini sudah ditentukan oleh Tuhan semenjak azal.
2. Paham Qadariah
Secara definitif, Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengungkapkan bahwa qadariah adalah paham yang menetapkan (itsbat) semua perbuatan manusia atau hamba ini terwujud dengan qudrat yang bersifat baharu. Dalam paham ini manusialah, katanya lebih lanjut, yang menciptakan segala perbuatannya melalui ikhtiar, baik yang mubasyarah maupun yang tawallud, yakni dengan daya dan qudrat yang dijadikan Allah Ta’ala padanya.
Disini Syeikh Abdurrahman Shiddiq mengidentifikasi paham qadariah sebagai paham yang mengukuhkan konsepsi bahwa manusialah yang sebenarnya yang menciptakan atau mewujudkan perbuatan-perbuatannya atas kemauan dan kehendaknya sendiri, dengan daya sendiri yang telah di anugerah-Kan Tuhan kepadanya.

C. Konsep Iman dan Hakikatnya
Misi terpenting dari kerja Intelektual Syeikh Abdurrahman Shiddiq, terutama dalam bidan pemikiran kalam (teologi) adalah untuk mengenalkan dan menyebar-luaskan pemikiran keagamaan dalam rangka membina individu dan masyarakat yang tidak hanya muslim, tetapi juga mukmin.
Di sini dengan jelas, Syeikh Abdurrahman Shiddiq ingin mengukuhkan pendapat yang menekankan pentingnya setiap orang memiliki nilai iman yang dapat menjamin kelangsungan kehidupan keagamaannya sebagai seorang muslim.
Iman yang didasarkan atas penerimaan pengkhabaran wahyu disebut tashdiq yaitu, menerima sesuatu sebagai benar dari apa yang didengar dan apa yang disampaikan wahyu. Sedangkan iman yang didasarkan atas kemampuan akal dan intelektual disebut ma’rifat yaitu, mengenal dengan sungguh-sungguh apa yang menjadi keyakinan dan kepercayaan.
Berdasarkan formulasi di atas, dapat dikatakan bahwa dalam aliran-aliran teologi yang memberikan kedudukan yang lemah dan rendah kepada akal, iman bukan lagi dalam bentuk tashdiq tetapi merupakan ma’rifat atau amal.
Kaum Mu’tazilah yang dikenal dengan kaum rasionalis Islam, karena mereka memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal, iman bagi mereka tidak berupa tashdiq tetapi ma’rifat.
Berbeda dengan aliran Mu’tazlah, dalam aliran Al-Asy’ariah, iman yang tidak dapat sampai kepada arti ma’rifat atau amal, tetap hanya dalam arti tashdiq.
Demikianlah konsep iman sebagaimana yang terdapat dalam aliran-aliran penting teologi Islam, yangtelah ada dan telah berkembang sebelum Syeikh Abdurrahman Shiddiq.
Karena menyadari kenyataan itu, maka Syeikh Abdurrahman Siddiq berpretensi menyuguhkan konsep iman yang menurutnya, dapat meliputi kepentingan golongan khawas dan golongan awam yaitu; dengan mengajukan batas iman dalam bentuk yang ideal di satu pihak dan dalam bentuk tradisional di pihak lain. Tetapi bagaimanapun juga, Syeikh ini kelihatannya sangat menekankan iman dalam batasan yang disebutkan pertama, yaitu iman dalam arti ma’rifat.

D. Persoalan Eskatologi
Menurut Syeikh Abdurrahman Shiddiq, perhatian Islam terhadap masalah eskatologi tersebut sangat erat hubungannya dengan kepentingan manusia akan adanya kelanjutan yang perlu dari hasil yang dicapai manusia selama mendapat kesempatan hidup di alam dunia.
Berdasarkan ide itu Syeikh Abdurrahman Shiddiq bermaksud untuk menempatkan manusia pada posisi sentral dalam orientasi pemikiran eskatologinya.
Penekanan Syeikh Abdurrahman Shiddiq terhadap pentingnya manusia memanfaatkan dengan baik kehidupan dunia ini dilandasi oleh keyakinan bahwa akan tiba suatu saat nanti (di akhirat), ketika setiap individu mendapatkan kesadaran untuk mengenang amal perbuatannya selama hidup di dunia, setiap individu, tanpa kecuali, pada saat itu akan berhadapan dengan apa saja yang pernah ia lakukan, dan kemudian ia menerima balasan dari perbuatan-perbuatannya sendiri.
Itulah sebabnya barangkali ungkapan-ungkapan Syeikh Abdurrahman Shiddiq, terutama dalam karya-karya tulisnya, mengisyaratkan keprihatinannya yang mendalam terhadap setiap individu yang melalaikan dan mengabaikan makna kehidupan dunia bagi kepentingan hidup jangka panjangnya nanti di alam akhirat.
Selain itu, presentasi itu dengan jelas sekali, juga mengandung pandangan Syeikh Abdurrahman SHiddiq yang menempatkan pentingnya eksistensi akhirat bagi kelanjutan hidup manusia.
Pendapat Syeikh Abdurrahman Shiddiq diatas sejalan dengan ungkapan al-Qur’an yang erring menyebutkan “hari itu” (akhirat) sebagai hari penentuan, yaitu penentuan terhadap manakah yang benar dan manakah yang salah, tidak hanya mengenai amal manusia yang berbeda tetapi juga mengenai keyakinan-keyakinan serta orientasi yang ada pada diri manusia dalam hidupnya.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq sebagai ulama yang ikut membahas persoalan-persoalan teologis Islam mendatang masalah pembalasan amal bagi manusia berkaitan dengan bentuk orientasi dan amal perbuatannya selama di dunia. Ini terlihat dari pemahamannya mengenai hakikat surga dan neraka yang dikaitakan dengan ide tentang penimbangan amal manusia di alam akhirat itu.
Syeikh Abdurrahman Shiddiq kelihatannya memang memberikan gambaran umum tentang surga yaitu; sebagai tempat manusia menerima balasan berupa kenikmatan dan kebahagiaan yang berkepanjangan dalam rahmad serta ridha Allah. Sedangkan neraka adalah tempat manusia menerima hukuman berupa siksaan dan azab.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa pandangan Syeikh Abdurrahman Shiddiq tentang ketentuan balasan di akhirat tersebut lebih dekat kepada ajaran kaum Mu’tazilah tentang hal yang sama. Sebagaimana diketahui, kaum Mu’tazilah berbeda dengan golongan al-Asy’ariah, mendasarkan ajaran mereka tentang hakikat pembalasan di akhirat atas pandangan rasional dengan menetapkan bahwa Tuhan mesti menempati janji-Nya dengan memberikan balasan atau menimpakan hukuman kepada manusia, sejajar dengan corak amal perbuatannya.
Oleh karena balasan dan hukuman di akhirat itu adalah berupa kenikmatan surga dan siksaan neraka, maka kaum Mu’tazilah dengan paham keadilan Tuhan yang mereka anut, jelas meyakini bahwa orang mukmin sebagai orang yang ta’at kepada Tuhan akan masuk surga, dan orang kafir karena dia melanggar perintah-perintah Allah, akan masuk ke dalam neraka. Keyakinan yang seperti itu sebagaimana telah disinggung diatas, adalah juga merupakan keyakinan yang dianut oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq.

BAB V
PEMIKIRAN
SYEIKH ABDURRAHMAN SHIDDIQ
TENTANG KETUHANAN

A. Eksistensi Tuhan
Hampir dapat dipastikan bahwa tidak ada seorangpun di antara para ahli kalam (teologi) yang meragukan kepastian adanya Tuhan dan keesaan zat-Nya.
Dalam upaya membuktikan adanya Tuhan, Syeikh Abdurrahman Shiddiq, selain berpegang teguh kepada teks-teks tertentu dalam Al-Qur’an yang ia jadikan sebagai dalil naqliy, ia juga menggunakan apa yang ia sebut sebagai burhan (pembuktian demonstratif melalui penalaran).
Kelihatannya, dalil naqly yang dikemukakan oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq tersebut sekaligus ia tujukan untuk memperkuat atau mengkonfirmasikan apa yang dapat dicapai oleh akal dalam membuktikan adanya Tuhan, yang diformulasikan nya dalam bentuk argumen rasional. menurutnya ada tiga rentetan burhan yang diperlukan untuk itu, yaitu; menetapkan baharunya jirm, menetapkan baharunya ‘aradh dan menetapkan baharunya alam. Pada argumen yang diajukan oleh Syeikh Abdurrahman Shiddiq terlihat dialektika yang lebih mampu bertumpu pada teori wajib dan mungkin yang ditujukan untuk mengaitkan, di samping membedakan antara hakikat wujud Tuhan dan wujud alam ini.
B. Sifat-sifat Tuhan
1. Hubungan sifat-sifat Tuhan dan zat-Nya, dikaitkan dengan pengertian tauhid
Tauhid atau keyakinan akan kemahaesaan Tuhan sebagaimana diketahui, merupakan ajaran yang sangat prinsipil dalam sistem ajaran Islam. Menurut penuturan Al-Qur’an diketahui bahwa ajaran tauhid itu tidak hanya merupakan misi utama Rasulullah (Nabi Muhammad s.a.w.) tetapi merupakan inti dari ajaran yang dibawa dan diserukan oleh Rasul-rasul Allah sebelumnya.
Golongan Mu’tazilah yang mengklaim diri mereka sebagai ahl al-tawhid, mempertahankan pengertian keesaan Tuhan dengan menolak setiap paham yang sepanjang pandangan mereka, dapat membawa kepada paham syirik (politeisme).
Kaum Mu’tazilah memberikan batasan pengertian sifat dalam usaha mereka untuk mengukuhkan paham “peniadaan sifat bagi Tuhan”. Sifat menurut mereka adalah sesuatu yang melekat pada zat. Dengan ini dipahami bahwa sifat dan zat jelas merupakan dua hal yang berbeda.
Yang jelas mereka pada umumnya sepakat mendukum paham peniadaan sifat-sifat bagi Tuhan, yang pada hakikatnya berisi rumusan yang mengharuskan persamaan sifat-sifat Tuhan dengan zat-Nya atau dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Tuhan.
Tetapi pendapat dan tanggapan kaum al-Asy’ariah mengenai persoalan hubungan sifat-sifat Tuhan dengan zat-Nya apabila dikaitkan dengan pengertian tauhid. Mereka pada umumnya menyatakan bahwa sifat berwujud dalam esensi itu sendiri. Ungkapan ini tampaknya mereka tujukan untuk menetapkan bahwa sifat-sifat itu tidak terpisah dan malahan selalu melekat pada zat Tuhan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Adapun kaum Muturidiah, baik golongan Bukhara maupun golongan Samarkand, mereka kelihatannya mempunyai pendapat yang sama dengan kaum al-Asy’ariah tentang kaitan sifat-sifat Tuhan dengan zat-Nya. Al-Muturidi sendiri menetapkan adanya sifat-sifat bagi Tuhan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan tetapi tidak lain daripada Tuhan.


Diambil dari: muhlis.files.wordpress.com/2008/03/pentingnya-ilmu-kalam.pdf

Imam ghazali, metodologi reformasi

Imam Al-Ghazali;
Sebuah Telaah tentang Metodologi Reformasi

oleh:Khairul Umam Thaib*

Sosok Al-Ghazali adalah sosok sejuta wajah. Ia berhasil menguasai berbagai disiplin ilmu secara mendalam pada saat yang bersamaan. Suatu prestasi tersendiri. Penulis makalah ini mencoba menelaah metodologi reformasi yang dibawakan oleh Al-Ghazali dengan analisa obyektif dan menyertakan beberapa kelemahannya.

Kemunculan Imam Al-Ghazali dalam pertarungan pemikiran di dunia Islam boleh dikatakan kontroversial, di mana sekian banyak pemikir memuja beliau, namun tak kurang pula yang mengkritik dan mengecamnya. Al-Ghazali adalah lautan yang terbentang luas, Al-Ghazali bagaikan Al-Syafi'i kedua, Hujjatul Islam, dan maha guru dari para guru.
Demikianlah pujian-pujian yang dilontarkan oleh para pe-ngagumnya dari kalangan ulama terdahulu seperti Ibn Hajar, Ibn Katsir, Imam Muhammad ibn Yahya dan lain-lain. Dari kalangan ulama kontemporer, Abul Hasan Ali Al-Nadawi, seorang ulama besar asal India mengatakan, "Al-Ghazali adalah seorang pemikir yang cemerlang, cendekiawan yang agung serta tokoh reformasi yang telah berusaha membangun kembali konstruksi baru bidang pemikiran dalam dunia Islam".
Selain Al-Nadawi, banyak lagi ulama dan intelektual kontemporer sebagai pengagum Al-Ghazali, antara lain adalah Mushtafa Al-Maraghi (mantan Syaikh Al-Azhar), Abul A'la Al-Maududi dan Ahmad Fuad Ahwani.
Dari sekian banyak pengagum dan pembela Al-Ghazali, tidak sedikit pula pengkritik dan pengecamnya dari dulu hingga sekarang. Yang sangat keras mengecam Al-Ghazali dari kalangan ulama dahulu antara lain Abu Bakar Al-Maliki, Ibn Shalah, Ibn Jauzi dan banyak lagi yang lainnya.
Adapun dari kalangan intelektual kontemporer yang sangat keras mengecam beliau adalah dari kelompok rasionalis Islam, kaum Mu'tazilah dan terutama dari para ahli filsafat Islam. Dalam pandangan mereka, Al-Ghazali telah melakukan kesalahan besar terhadap perjalanan sejarah Islam karena dalam memberikan solusi terhadap problematika umat, lebih cenderung mengajak mereka untuk memasuki jalan tasawuf yang mengabaikan kehidupan dunia dan menghambat kemajuan masyarakat karena tenggelam dalam mencari kebahagiaan yang bersifat pribadi dan individualistis.
Lebih dari itu, ahli filsafat Islam berpendapat bahwa pemikiran Al-Ghazali menjadi starting point dari kemunduran peradaban Islam. Yaitu berawal dari diluncurkannya suatu karyanya yang spekta-kuler pada abad XIV Masehi yang berjudul Tahafut al-Falasifah. Karya ini dianggap tidak hanya menghancurkan filsafat metafisika, akan tetapi juga turut andil melemahkan umat Islam dalam mengadakan riset dan penemuan baru di bidang natural science atau ilmu pengetahuan alam.
Demikianlah silang pendapat yang terjadi antara ulama dan intelektual Islam terhadap metodologi reformasi yang telah dicetuskan oleh Al-Ghazali. Namun untuk lebih menemukan titik terang dari permasalahan ini, penulis paparkan dalam pembahasan berikut beberapa persoalan yang menjadi obyek dari reformasi pemikiran yang dila-kukan oleh Al-Ghazali.
Kondisi Masyarakat Sebelum Al-Ghazali Sebelum kelahiran Al-Ghazali pada pertengahan abad XI, mayoritas masyarakat Islam sedang gandrung mendalami filsafat Yunani sehingga pemikiran filsafat tersebar ke seantero wilayah Islam yang terjadi antara ulama dan intelektual Islam. Walaupun pada waktu itu banyak terdapat ulama fiqh dan hadits, namun mereka tidak mampu menghadapi ma-syarakat rasionalis yang kuat bersandar kepada logika dalam memahami agama kecuali hanya dengan cercaan dan makian.
Kondisi masyarakat pada masa ini tidak hanya sekedar bodoh terhadap ajaran agama, akan tetapi disertai pula oleh sikap taklid buta terhadap ajaran filsafat Yunani. Bahkan sampai-sampai mereka mempercayai ajaran filsafat tersebut sama dengan kepercayaan mereka terhadap agama, sehingga seolah-olah ajaran filsafat itu datang juga dari Allah SWT. Tatkala pemahaman filsafat ini semakin menebal di ka-langan masyarakat Islam - yang boleh kita sebut sebagai sebuah tesa - maka kemudian muncullah antitesanya, yaitu golongan pengikut salaf yang menyeru kepada kemurnian Al-Qur'an dan Sunnah serta mengimani nash-nash syariat apa adanya.
Dari pertarungan sengit antara tesa dan antitesa ini, muncullah kelompok yang menganggap dirinya sebagai penengah yang disebut sintesa, yaitu golongan Asy'ariyah yang dipelopori oleh Imam Abu Hasan Al-Asy'ariy sebagai pencetus dan Imam Al-Ghazali sebagai pembelanya. Abu Hasan Al-Asy'ary muncul untuk meluruskan kembali ajaran agama yang telah banyak terselewengkan dan bercampur baur dengan ajaran filsafat.
Akan tetapi, walaupun beliau mempunyai kemampuan yang cukup tinggi di bidang keilmuan, namun beliau mempunyai kelemahan di bidang ilmu mantiq yang dapat digunakan sebagai senjata untuk menundukkan kaum rasionalis. Sehingga walaupun Imam Asy'ary telah berhasil mencetuskan suatu metodologi baru dalam memahami aqidah, namun beliau belum mampu menghancurkan ajaran filsafat Yunani yang telah tersebar luas di tengah masyarakat Islam.
Dalam kondisi seperti inilah muncul seorang hujjatul Islam, yang menjadi anutan bagi mayoritas umat hingga sekarang. Dengan bukunya Tahafut al-Falasifah, beliau mampu mengobrak-abrik se-luruh pemahaman filsafat yang telah tersebar luas. Sehingga sebagai konsekuensi logisnya, pemikiran filsafat dan rasio-nalitas hilang dari dunia Islam Timur dan berhembus ke dunia Barat Kristen. Peristiwa inilah yang dianggap oleh para ahli sejarah filsafat Islam sebagai starting point bagi pencerahan dan kemajuan peradaban Barat sekarang ini.
Metodologi Reformasi Al-Ghazali Sebelum memulai reformasinya, terlebih dahulu Al-Ghazali mengalami kegoncangan dalam hidupnya, sampai-sampai beliau meragukan segala sesuatu yang ada di alam ini. Kebanyakan ahli filsafat Islam menyebut kondisi Al-Ghazali ini sebagai syak al-maradhy, yaitu penyakit ragu-ragu.
Namun "penyakit" Al-Ghazali yang unik ini akhirnya menjadi minhaj tersendiri dalam filsafat, yang pada zaman renaisance di Barat telah diikuti oleh Immanuel Kant yang menamakan metodologi filsafatnya dengan syak al-minhajy, yaitu keraguan yang metodologis. Adapun persoalan-persoalan penting yang menjadi obyek reformasi yang dilakukan oleh Al-Ghazali antara lain adalah hal-hal berikut:

Ilmu Kalam

Al-Ghazali mempunyai sikap tersendiri dalam pende-katan memahami ilmu kalam, di mana beliau menentang keras orang-orang yang memahami Al-Qur'an dan Sun-nah dengan menggunakan metodologi musuh, walaupun metodologi ini telah tersebar luas di tengah masyarakat Islam ketika itu. Sehingga menurut beliau, para mutakallimin pada waktu itu telah gagal dalam memberikan pemahaman akidah secara benar kepada masyarakat luas, karena para mutakallimin itu banyak menggunakan istilah asing yang sangat sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Untuk itu Al-Ghazali memberikan beberapa alternatif baru dalam pendekatan memahami ilmu kalam.
Dalam hal ini Al-Ghozali antara lain meletakkan lima asas dalam mencapai obyektifitas ilmiah yang tidak dapat diingkari oleh semua pihak, yaitu sebagai berikut:
Al Badahah al hissiyah. Contohnya, alam dibagi ke-pada dua, yaitu jauhar dan 'aradh. Jika kita mengatakan kepada ahli filsafat bahwa alam adalah hadits (baru), mereka akan menyangkal hal itu. Akan tetapi dengan adanya pembagian ini, mereka tidak dapat mengingkarinya.
Al-Badahah al-aqliyyah. Contohnya, kita mengatakan bahwa bapak pasti lebih tua dari pada anak. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapa-pun.
Al-i'timad 'ala al-tawaatur. Contohnya, siapapun tidak dapat mengingkari kebenaran berita yang dibawa oleh mayoritas manusia yang tidak mungkin berlaku kesepakatan untuk berbohong.
Al-dalil al sam'i aw al-nash al-syar'i. Yaitu meyakini secara penuh dalil-dalil yang bersifat sam'i dan nash-nash syari'at yang langsung datang dari Allah. Kaidah ini hanya bisa digunakan bagi orang-orang yang sudah beriman.
Al-i'timad 'ala qodhiyah hia min musallamat khashmah. Contohnya, kita mengguna-kan perkara yang sudah di-sepakati oleh musuh, sehingga tidak ada jalan untuk lari bagi mereka dari kesepakatan tersebut.

Filsafat.

Menurut pendapat Al-Ghazali, ahli filsafat itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu:
Al-Dahriyyuun. Yaitu golongan yang meng-ingkari kebenaran bahwa Allah sebagai pencipta dan pengatur alam, serta meyakini bahwa alam ini kekal selama-lamanya.
Al-Thabi'iyun. Mereka merupakan golong-an yang memfokuskan diri dalam pengkajian terhadap awal mula kejadian alam, he-wan dan tumbuhan. Golongan ini mengingkari adanya hari akhirat dan perkara-perkara gaib seperti surga, neraka, malaikat dan lain-lain.
Al-Ilahiyun. Pelopor golongan ini adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Golongan ini mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam ketika itu, khususnya paham Aristoteles yang disebar luaskan oleh Al-Farabi dan Ibnu Sina.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang sikap Al-Ghazali terhadap filsafat secara keseluruhan, bisa kita lihat polemik yang dilakukan oleh Al-Ghazali terhadap para filosof secara umum, dan terhadap Ibnu Sina dan Al-Farabi dalam 20 masalah yang dianggap urgen.

Di antara yang terpenting adalah:
Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat tentang qadimnya alam. Beliau berpendapat bahwa alam berasal dari tidak ada menjadi ada karena diciptakan oleh Allah SWT.
Al-Ghazali mengkritik pendapat kaum filsafat tentang kepastian akan keabadian alam. Beliau berpendapat bahwa soal keabadian alam terserah kepada Allah semata. Mungkin saja alam itu terus menerus tanpa akhir, andai kata Allah memang menghendaki demikian. Namun bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan dirinya sendiri di luar iradat Allah.
Al-Ghazali menghantam pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal kully (universal) saja dan tidak mengetahui masalah-masalah juz'iy (terperinci).
Al-Ghazali juga menentang pendapat kaum filsafat, bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab akibat semata, tanpa ada penyelewengan dari hukum tersebut. Bagi beliau segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas beliau mendukung pendapat ijra al-'adah dari Al-Asy'ari.
Semua argumen Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah itu dilancarkannya dengan cara polemik yang logis, ilmiah dan metodologis. Kendati demikian banyak juga ahli filsafat Islam berpendapat bahwa Al-Ghazali kurang fair dalam polemiknya menentang ahli filsafat. Alasannya adalah bahwa beliau menggunakan senjata apa saja untuk menghancurkan pendapat filsafat, walaupun senjata itu datang dari golongan lain yang beliau tentang sendiri, seperti Mu'tazilah, Syi'ah, Bathiniyah dan lain-lain.
Bagaimana pun juga, Al-Ghazali memang telah dikenal sebagai seorang ahli mantiq serta pemberi tuntunan tentang cara berargumentasi yang baik dan logis.Tentang ilmu mantiq itu sendiri beliau berpendapat, "Barang siapa yang tidak mempelajari mantiq, diragukan kebenaran ilmunya".
Dalam menjatuhkan prinsip kaum filsafat tentang kejadian alam, Al-Ghazali mempunyai argumentasi yang sangat kuat. Sebagai contoh, beliau menjatuhkan prinsip kelompok yang menyatakan, “Laa yashdur min wahid illa syaiun wahid," yaitu mustahil akan muncul dari sesuatu yang satu kecuali satu. Dengan mudah Al-Ghazali menjatuhkan argumentasi kaum filsafat ini dengan senjata mereka sendiri, yaitu bahwa jisim terdiri dari dua unsur, materi dan jiwa, di mana satu unsur bukan merupakan 'illat bagi yang lainnya. Kemudian Al-Ghazali berkata, bukankah hal ini merupakan hal yang kontroversial dari prinsip kaum filsafat itu sendiri?

Tasawwuf

Dalam bidang tasawuf Al- Ghazali berusaha meletakkan kembali posisi tasawuf ke tempat yang benar menurut syari'at Islam. Al-Ghazali membersihkan ajaran tasawuf dari pengaruh faham-faham asing yang masuk mengotori kemurnian ajaran Islam, seperti wihdatul wujud, ittihad dan al-hulul. Pada saat itu banyak yang beranggapan bahwa seorang ahli tasawuf yang tidak beri'tikad dangan faham di atas, maka sebenarnya tidak pantas diberi gelar sebagai ahli tasawuf Islam. Sehingga sebagian orientalis Barat terpengaruh dengan pendapat ini. Contoh-nya Nicholson, ia berpendapat, "Al-Ghazali tidak termasuk dalam golongan ahli tasawuf Islam, karena ia tidak beri'tikad dengan wihdat al-wujud".
Dalam usaha pembersihannya tersebut, Al Ghazali mengawali kitabnya Ihya 'Ulumiddin dengan pembahasan faraidh al-Diniyah, kemudian diikuti dengan pembahasan Nawafil dan selanjutnya baru diikuti dengan cara-cara yang sepatutnya diikuti untuk sampai ke martabat yang sempurna.
Ada sepuluh kaidah utama yang diletakkan Al-Ghazali dalam ilmu tasawuf yaitu niat yang betul, melakukan amal secara ittiba' bukan ibtida', ikhlas, tidak bertentangan dengan syara', tidak mengulurulur amal baik, tawadhu', takut dan berharap, senantiasa berdzikir, senantiasa mengintrospeksi diri, dan bersungguh-sungguh mempelajari hal-hal yang perlu dilakukan secara lahir dan batin.
Demikianlah tiga hal yang cukup urgen dan mewakili reformasi pemikiran yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali terhadap alam pemikiran umat Islam pada zaman beliau hidup. Namun bukan berarti hanya tiga masalah ini saja sebagai obyek reformasi Al-Ghazali, akan tetapi lebih tepat bila dikatakan sebagai sampel yang dapat penulis angkat dalam tulisan ini.
Dari uraian-uraian di atas, kita banyak melihat kelebihan-kelebihan Imam Al-Ghazali dalam perjuangannya. Namun sebagai manusia biasa tentu saja kita tidak bisa menafikan adanya kelemahan-kelamahan yang beliau miliki, karena kita meyakini tidak ada manusia yang ma'shum kecuali para nabi dan rasul.
Untuk pembahasan berikut, penulis kemukakan beberapa kelamahan Imam Al-Ghazali dari catatan para ahli dan ulama, dengan tidak bermaksud mengecilkan martabat beliau sebagai seorang ulama besar dan hujjatul Islam.

Kelemahan Al-Ghazali

Di samping sekian banyak kelebihan Imam Al-Ghazali, tercatat juga beberapa kelemahan yang beliau miliki dari pandangan yang obyektif, antara lain sebagai berikut:
Kelemahan Al-Ghazali dalam bidang ulum al-hadits.
Ibn Jauzi mengatakan, Al-Ghazali memungut hadits-hadits yang ditemuinya tanpa penilaian terlebih dahulu terhadap shahih dan tidaknya hadits tersebut. Hal ini menurut Ibn Jauzi disebabkan oleh latar belakang pendidikan Al-Ghazali yang lebih banyak memfokuskan diri dalam bidang ilmu 'aqliah seperti ilmu kalam, mantiq, ushul fiqh dan lain-lain.
Sementara Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Al-Rasul wa al-’Ilmi mengatakan, “Al-Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin pada bagian Kitab al-Ilmi mengemukakan 55 buah hadits, dan hanya 13 hadits di antaranya yang sampai martabat shahih dan hasan, sedangkan selebihnya adalah hadits-hadits dha'if, walaupun masyhur di kalangan masya-rakat.
Kontradiksi dalam pendapatnya sendiri.
Terdapat kontradiksi dan pertentangan antara pendapat-pendapat Al-Ghazali sendiri, di mana beliau menafikan suatu pendapat yang telah beliau benarkan pada tempat lain.
Fenomena ini menyebabkan beliau dianggap mempunyai dua madzhab. Pertama madzhab untuk orang awam, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Tahafut al-Falasifah. Kedua madzhab khusus untuk para ahli filsafat saja, seperti yang terdapat dalam buku beliau Ma'arij al-Quds.
Sikap Al-Ghazali terhadap fenomena perang salib.
Pada masa hidup Al-Ghazali telah terjadi penyerbuan besar-besaran dari tentara salib terhadap dunia Islam, sehingga beberapa wilayah Islam dapat dikuasai kaum salibi termasuk Baitul Maqdis.
Dalam serbuan pertama dari peperangan tersebut umat Islam yang mati syahid mencapai 60.000 orang. Dalam kondisi yang sangat nahas itu tidak terdengar suara Al-Ghazali untuk mengatasi problem besar ini. Sementara kedudukan beliau pada waktu itu boleh dikatakan sebagai imam bagi seluruh dunia Islam, yang dengan satu ucapannya saja dapat mengerahkan umat Islam untuk berjihad mengusir kaum kafir salib yang telah menjajah dunia Islam dan dapat membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman kaum kafir.
Namun Al-Ghazali lebih memilih jalan sufi dan ber’uzlah dari pada memimpin peperangan mengusir musuh dari dunia Islam. Al-Ghazali mulai ber’uzlah di menara masjid Damaskus semenjak tahun 488 H. hingga tahun 499 H. Pada tahun 491, tiga tahun setelah beliau mulai ber’uzlah, tentara salib telah berhasil menaklukkan Anthakia dan Ma’ratun Nu’man yang mengakibatkan terbunuhnya 100.000 kaum muslimin. Mereka menerobos seluruh pelosok negeri, serta menghancurkan semua yang mereka temui. Akhirnya pada tahun 495 H mereka berhasil menaklukkan Al-Quds. Sementara Al-Ghazali masih “terlelap” dalam ‘uzlahnya hingga tahun 499 H.
Para ahli sufi pada waktu itu, termasuk Al-Ghazali hanya berpendapat bahwa perang salib tersebut merupakan ganjaran dari maksiat yang diperbuat umat Islam, oleh sebab itu ishlah batin lebih afdhal dari pada perang fisik dalam kondisi seperti itu.


Penutup

Sukar didapati seorang ahli fikir yang meninggalkan pengaruh besar dalam Islam seperti Al-Ghazali. Beliau sendiri hidup dalam masa penyebaran jiwa keislaman yang telah merosot dan keimanan terhadap aqidah yang benar-benar telah mengendur. Kondisi ini menurut Al-Ghazali disebabkan oleh orang-orang yang memasuki lapangan filsafat dan tasawwuf.
Ulama kalam sebelum Al-Ghazali telah berusaha memerangi filsafat, tetapi tidak seorangpun yang berhasil merobohkan konstruksi pemikiran filsafat sampai ke akar-akarnya sebagaimana yang telah dilakukan Al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali juga menyerang para ahli ilmu kalam, sementara beliau sendiri sebagai tokoh ilmu kalam.
Beliau mengkritik kebanyakan tingkah laku ulama kalam, yang menurut beliau hati mereka menjadi kesat dan jauh dari ajaran agama yang mereka perjuangkan sendiri. Al-Ghazali telah mengambil jalan tasawuf, dan membebaskan tasawuf tersebut dari berbagai penyelewengan yang menjauhkannya dari kebenaran ajaran Islam, seperti masuknya faham wihdatul wujud, ittihad dan hulul.
Beliau juga dengan jelas menentang paham tasawuf yang mengatakan bahwa seorang sufi apabila telah mencapai tingkatan ma'rifat, maka tidak lagi mengenal batas larangan, sehingga menjadi bebas dari berbagai kewajiban syari'at. Dalam setiap langkah, baik berhadapan dengan filosof,ahli kalam ataupun dengan golongan sufi, beliau hanya ingin mencapai satu tujuan utama, yaitu menghidupkan kembali semangat baru bagi Islam. Wallahum A'lam Bishshawab.

Bahan Bacaan

Prof. DR. Abdul Mu'thi al Bayumi, Al-Falsafah al-Islamiah min al- masyriq ila al-Maghrib, juz III.
DR. Ibrahim Ahmad Mahfudz, Al- Masail allati Kaffara Al-Ghazali fiha al-Falasifah
DR. Yusuf Qardhawi, Al-Ghazali Baina Madihihi Wa Naqidhihi.
DR. Yusuf Qardhawi, Al-Rasul Wa al-Ilmu.
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al-Dhalal.
Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad Fi al-I'tiqad.
Abu hamid Al-Ghazali, Tahafut al- Falasifah.
DR. Umar Amin Husein, Filsafat Islam.
Poerwantana, Drs.,Seluk Beluk Filsafat Islam.
Prof. DR. Mahmud Hamdi Zaq- zouq, Tamhid li al-Falsafah.
* Khairul Umam Thaib lahir di Riau, 23 Januari 1971. Setelah menamatkan PGAN th. 1989, ia melanjutkan pendidikannya di DDI Jakarta (89-91) dan LIPIA. Kini telah menyelesaikan program S1 di Fakultas Ushuluddin jurusan Akidah dan Filsafat Universitas Al-Azhar. Ia pernah menjabat sebagai staf redaksi Terobosan, Pengurus HPMI, dan kini aktif sebagai staf redaksi OASE (Jurnal Dua bulanan ICMI Orsat Cairo).
________________________________________
JURNAL KAJIAN KEISLAMAN NUANSA
Diterbitkan oleh:
Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama, Kairo - Mesir
Web: http://www.kmnu.org, Email: kmnu@softhome.net

Pemikiran filsafat nasirudin thusi

Bab I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada masa penghancuran politik secara besar-besaran yang diikuti dengan kemunduran inelektual, ternyata tidak secara otomatis memusnahkan intelektual seluruhnya dalam dunia Islam, setidaknya hal itu tercermin pada sosok Thusi. Beliau mampu menaklukkan keberingasan Hulagyu Khan untuk menyelamatkan khasanah pemikiran Islam.
Orang Persia mengenal Nashirudin Thusi sebagai guru manusia, sebagaimana Barhebracus (penyususn ensiklopedi kristen termasyhur yang memberikan kuliah pada observatium Maraghah) menganggapnya sebagai orang yang mempunyai pengetahuan luas di semua cabang ilmu filsafat. Bagi Ivanow, Thusi bagaikan kamus berjalan, sedangkan S.M. Afnan dalam bukunya, Avicena menganggapnya sebagai juru ulas yang paling mahir dalam mengulas buku-buku karya Ibnu Sina. Karena sejauh berhubungan dengan filsafat, Thusi merupakan otoritas terbesar dalam filsafat Ibnu Sina masa itu. Dibanding tokoh lain, dia merasa bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali filsafat setelah dikecam oleh para teolog terkemuka semisal al-Ghazali dan al-Razi. Melalui usahanya ia berhasil menghidupkan kembali studi astronomi dan matematika dalam Islam abad ke tiga belas.
Sahabatnya sendiri ilmuwan Suryani, Ibn al-‘Ibari pernah mengatakan tentang Thusi, “Dia adalah seorang filosof yang sangat bijak, yang sangat dihormati dalam semua bidang pengetahuan. Semua badan wakaf di seluruh negara yang dikuasai Moghul berada di bawah kekuasaannya. Dia memiliki beberapa buku karangan dalam bidang logika, ilmu alam dan agama, bahkan ia memiliki tulisan tentang Euclides dan al-Majesty.[1] Nasiruddin juga menulis buku Akhlak dalam bahasa Persia yang sangat bagus. Dlam buku itu dia merangkum berbagai pernyataan Plato dan Aristoteles tentang filsafat praktis.
Nasiruddin Thusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa Arab dan Pars. Dia juga menulis dengan kedua bahasa tersebut. Dia dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya Arab dan budaya Persia dengan tingkat penguasaan yang sama. Thusi berusaha menegakkan kembali pemkiran-pemikiran Ibn Sina yang telah banyak dikritik oleh al-Ghazali dan al-Razi, kritik Nasiruddin Thusi secara spesifik dilontarkan kepada Lubab al-Isyarah (sebuah ulasan tentang al Isyarah wa al-Tanbihah karya Ibn Sina) yang ditulis Fakhrudin Razi.[2] Bahkan kritik al-Razi tersebut mempunyai akibat lebih lanjut dilihat dari segi teknis filosofis ketimbang serangan al-Ghazali. Thusi menulis ulasan kitab al-Isyarat wa al-Tanbihat yang ditulis oleh Ibn Sina. Usaha Thusi inilah yang memberikan pengaruh terhadap bertahannya kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibn Rusyd.
B. Rumusan masalah
Ketika kita berbicara mengenai sosok pemikir besar ini maka ada beberapa hal yang dapat kita ketahui, yaitu dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. mengenali beliau, yaitu dengan mengetahui biografinya
2. pemikiran thusi tentang etika dan moral
3. metafisika
4. pemikiran politik
5. tentang kepemimpinan
6. dan manejemen kerumah tanggaan.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Nasirudin Thusi
Nama Nasiruddin Thusi adalah Khawajah Nasir al-Din Abu Ja’far Muhammad. Beliau dilahirkan di kota Thus 597/1201 M. Setelah menerima pendidikan dasar dia mempelajari fiqh, ushul fiqh, hikmah dan kalam, terutama al-Isyaratnya Ibn Sina dari Mahdi Farid al-Din Damat, dan matematika dari Muhammad Nasib di Nishapur, kemudian dia pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb al-Din, di Baghdad beliau memperdalam ilmu matematikanya dari Kamal ibn Yunus dan fiqhnya dari Slim ibn Badrn.
Thusi mencapai kemasyhuran ketika dia mampu membujuk Khulagu Khan untuk membangun observatorium yang terkenal di Marghah Azerbaijan pada tahun 658 H, yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Kemudian beliau menjadi direktur pada observatorium Maraghah.[3] Observatorium ini merupakan pusat penelitian yang tepat dari tiga pusat penelitian sastra dan astronomi di Timur setelah Dar al-Hikmah di Baghdad dan Baitul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah.
Observatorium Maraghah lebih daripada sekedar tempat pengamatan astronomis. Sebuah institusi ilmiah yang lengkap, tempat hampir setiap cabang ilmu diajarkan, dan melahirkan sebagian besar ilmuwan paling terkenal pada periode abad pertengahan. Institusi ini dilengkapi dengan perlengkapan astronomis terbaik. Disamping itu terdapat juga perpustakaan besar. Menurut Ibn Syakir, perpustakaan itu mengoleksi lebih dari 400.000 buah buku.
Thusi merupakan orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu, buku akhlak Nasiruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optik, meteorologi, botani, zologi dan psikologi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestik dan politik. Dengan itu Thusi dikenal sebagai seorang filosof sedangkan di Barat beliau dukenal sebagai seorang astronom dan matematikawan.
Selain itu Thusi juga merupakan seorang yang jenius dan kejeniusannya itu tersebar pada kritik-kritikannya terhadap Ptolemeus yang tulisan-tulisannya banyak mengulas berbagai hal, termasulk doktrin Ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.[4]
B. Etika/Moral
Nasir al-Din Abd Rahman, gubernur Ismailiyah dari Quhistan pernah meminta pada Nashir al-Din Thusi untuk menterjemahkan kitab Thaharah (Tahzibul Akhlaq) dari bahasa Arab ke bahasa Parsi, namun Thusi melihat pada karya Ibn Miskawaih terbatas pada moral, padahal yang penting tidak disinggung. Tetapi pada muqaddimahnya Thusi dengan terus terang mengemukakan niatnya membukukan rumusan etikanya sebagai persianisasi kitab Ibn Miskawaih tersebut. Beliau menambahkan dalam buku tersebut persoalan-persoalan manajemen rumah tangga dan politik.
Ada sedikit perbedaan antara Ibn Miskawaih dengan penerusnya Thusi. Bila Ibn Miskawaih lebih berkonsentrasi untuk mempopulerkan dan sistematisasi subjeknya, Thusi membahas relasi antara etika dengan sains-sains filosofis lainnya. Thusi mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan fungsi seseorang sebagaimana harusnya, sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan”.
Pada pembahasan etika, Thusi mengatakan bahwa moral atau etika itu bertujuan mendapatkan kebahagiaan, dan hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Selain daripada itu beliau pula mengemukakan hal yang menyangkut penyakit moral seperti kebodohan, kejahatan, kemarahan, kepengecutan dan ketakutan yang semuanya berasal dari tiga: kekurangan, kelebihan dan ketidakwajaran akal.
Kebodohan menurut Thusi adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan tersebut ke dalam tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan jika untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua argumen yang saling bertentangan, dalam hal ini Thusi menyarankan agar orang yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini terjadi karena kekurang tahuan manusia akan sesuatu hal. mengira bahwa ia mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang biasa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkab; kebodohan ini akibat kekurang tahuan manusia akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya mengetahui hal tersebut.
Mengenai kemarahan, Thusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan.[5] Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan, akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidak wajaran kekuatan. Thusi telah mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak tindak tanduk dan patuh yang menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.
C. Metafisika
Menurut Thusi metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (ilmu ilahi) dan filsafat pertama (falsafah ida). Pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu pengetahuan ketuhanan, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan alam semesta adalah filsafat pertama.
Bagi Thusi, Tuhan tidak dibuktikan secara logis, exsistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Karena mustahil bagi manusia yang sangat terbatas untuk memahami tuhan di dalam keseluruhannya, termasuk pembuktian existensinya. Persoalan mengenai apakah dunia kekal (qadim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis), merupakan masalah yang paling membingungkan dalam filsafat muslim, Aristoteles berpendapat bahwa dunia ini kekal menyifatkan gerakannya pada penciptaan tuhan, sang penggerak utama.
Thusi dalam karyanya Tashawurat melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati antara Aristoteles dan Ibn Maskawaih. Dia memulai dengan mengecam doktrin creatio exnihilo, dengan mengatakan bahwa tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengakaitkan eksistensi penciptaan pada dirinya. Dengan kata lain dunia ini merupakan suatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Di sini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan tuhan yang menyempurnakan meski dalam hak dan kekuatan sendiri, ia tercipta Muhadats.
Dalam karyanya yang belakanganm, Thusi meninggalkan sikap seraya mendukung sepenuhnya doktrin creatio exnihilo dengan menggolongkan zat menjadi “yang pasti” dan “yang mungkin”, dia mengemukakan bahwa existensi “yang mungkin” bergantung pada “yang pasti”; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain darinya , maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab penciptaan yang maujud itu tidak ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhadats).
Mengenai sumber existensi Thusi berpendapat bahwa sumber existensi adalah satu, yaitu kehendak Allah yang Maha Tinggi, yang disebut dengan “kalam”. Makhluk pertama yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah akal pertama. Semua makhluk lain terjadi dari kehendak ilahi dengan berbagai perantara. Jadi, jiwa tercipta melalui akal dan hyle, alam dan benda lahir tercipta melalui jiwa.
Pendapat Thusi mengenai faskultas-fakultas jiwa cenderung kepada Ibnu Sina. Eksistensi jiwa rasional menurut beliau tidak memerlukan bukti, karena ia adalah identitas yang mewujud dengan dirinya sendiri, karena wujud rasional adalah essensi dan realitasnya, yang mengetahui tanpa perantara apapun. Keterlepasannya dari organ indrawi dibuktikan dengan fakta bahwa jiwa mengetahui dirinya dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, sebaliknya organ inderawi seperti tubuh lain, digunakan oleh jiwa sebagai instrumen.
D. Pemikiran Politik
Ide-ide politik Thusi sebagian besar mengambil pemikiran al-Farabi. Bahasan beliau mengenai ilmu politik berupaya mencari asosiasi yang tertib sebagai sebuah prakondisi kehidupan yang bahagia, yang ada dalam bagian “domestik”. Tanpa asosiasi yang terdiri dari kerja sama yang saling menguntungkan yang dikontrol oleh keanekaragaman kebutuhan, masyarakat berperadaban tidak mungkin terwujud. Hal inilah yang dimaksud para filosof bahwa manusia pada dasarnya ialah hewan politik.
Karena adanya konflik aspirasi, kerakusan dan kegilaan kekuasaan yang memaksa seseorang bertindak, maka satu model otoritas manajemen (tadbir) sangat essensial dan merupakan akar organisasi politik. Jika disesuaikan dengan rule of wisdom manajemen tersebut dinamakan pemerintah ilahi. Aristoteles membedakan tiga model pemerintahan: monarki, tirani, demokrasi. Thusi menganggap yang pertama sebagai bentuk ideal mirip Plato, dia cenderung memilih aristokrasi atau pemerintahan orang utama, dengan penambahan ide-ide syiah. Jadi rajanya diperintah oleh “Petunjuk Ilahi”. Kedudukannya berada di bawah imam, atau pemimpin spiritual masyarakat, yang didefinisikan Plato sebagai pemimpin dunia.
Tingkatan asosiasi menurut Thusi berantai dari rumah tangga ke tingkat lokal, kemudian kota, bangsa dan seluruh dunia. Setiap tingkatan pasti memiliki seorang ketua, yang tunduk kepada tingkatan yang lebih tinggi, hingga mencapai “pemimpin dunia” atau yang dipertuan agung.
Akibat pentingnya asosiasi, menurut Thusi kehidupan menyendiri baik itu pertapa, asketik, berlawanan dengan moral, yang tidak hanya terdiri dari pematangan dari kesenangan manusia, tetapi hanya menghindarkan eksesnya dan ini merupakan esensi keshalehan. Orang-orang yang dengan sengaja memutuskan diri dari dunia kebersamaan tidak lebih baik dari pada objek tak bernyawa atau mayat.
Faktor yang mengikat manusia untuk bersama dan mematri mereka dalam sebuah komunitas tunggal ialah ikatan cinta. Ikatan ini berdasarkan kesatuan alamiah, dan lebih superior dibandingkan dengan keadilan, dan hanya jika cinta hilang, maka kebutuhan akan keadilan muncul.
Menurut Thusi ada dua macam cinta: cinta alamiah dan cinta voluntaris. Cinta voluntaris terbagi menjadi: (1) yang muncul dan lenyap secara cepat, (2) yang muncul cepat namun lambat lenyapnya, (3) yang muncul lambat namun cepat lenyapnya, (4) yang muncul dan lenyapnya lambat. Semua cinta itu bisa terkena perubahan dalam perjalanan waktu dan diwarnai ego dan keangkuhan. Hanya cinta kepada Allah yang dimiliki oleh filosof sejati, yang bebas dari kekurangan yang diberikan kepada hamba-hamba Allah yang terpilih.
E. Tentang Kepemimpinan
Kualitas yang mesti dimiliki pemerintah religius atau imam ialah:
1. mempunyai nasib yang baik,
2. sifat yang terpuji,
3. bijaksana,
4. bergantung kepada bantuan-bantuan yang dapat dipercaya,
5. berkemauan keras,
6. ulet da tabah, dan
7. betul-betul kaya.
Untuk menjamin pemerintahan yang tertib dan berkeadilan, seorang pemimpin mestilah menjaga kelas-kelas masyarakat yang berbeda secara seimbang. Dia tidak boleh bagaimanapun mengabaikan derajat sosial dan diskriminasi politik.
F. Manajemen Kerumahtanggaan
Salah satu pemikiran orisinal Thusi dalam meluaskan lingkup etika ialah merambah ke bidang manajemen rumah tangga. Dia mengungkapkan bahwa prinsip dasar regulasi rumah tangga terdiri dari tiga:
1. untuk memelihara keseimbangan rumah tangga yang telah terbangun,
2. memperbaiki ketidakharmonisan,
3. memajukan kesejahteraan setiap anggota secara individual sebagaimana anggota rumah tangga kolektif. Dalam kaitan ini, rumah tangga bisa diibaratkan tubuh manusia dan dokternya, yang bertugas menjaga kesehatan dan restorasi tubuhnya.
Tujuan mempunyai isteri adalah untuk memelihara kepemilikan dan untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu kualitas utama seorang isteri ialah harus hemat dan subur. Di samping itu dia harus penuh kasih sayang, sederhana, sabar, dan shaleh.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nasiruddin Thusi merupakan salah seorang pemikir yang membangkitkan kembali nilai-nilai ilmu filsafat setelah pada masa sebelumnya dunia intelektualitas mengalami stagnasi akibat intimidasi dan penyerangan Hulagu Khan. Dalam masalah filsafat terutama metafisika beliau lebih banyak setuju pada pendapat Aristoteles walaupun sesekali ia mengkritik filsafatnya juga. Dan masalah etika beliau menyatakan bahwa penyakit moral itu merupakan penyimpangan-penyimpangan jiwa dari keseimbangan, dan penyebab penyakit moral ialah salah satu dari tiga hal: keberlebihan, keberkurangan, dan ketidak wajaran akal. Akhirnya walaupun kita tau bahwa nasirudin ini seorang pemikir besar, namun kita harus tetap mengoreksinya jika kita ingin menjadikan pemikiran beliau sebagai dasar-dasar untuk melakukan ibadah. Acuan kita tetaplah al-qur’an dan hadits, karena ada satu riwayat yang menceritakan ketika amr bin ash menanyakan masalah buku filsafat kepada umar bin khattab. Kata sayyidina umar, jika didalam filsafat itu tidak sesuai dengan Al-qur’an maka lenyapkanlah. Dan seandainya adapun, maka Al-qur’an yang telah mencukupinya . Mudah-mudahan kita selalu mendapat petunjuk dari Allah swt, amin.



DAFTAR PUSTAKA

• Husain Ahmad Amin. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. (Bandung:Remaja Rosada Karya,1999),
• Muhmmad Baqir ash-Shadar. Falsafatuna. (Bandung:Mizan,1998),
• Osman Bakar. Hierarki Ilmu. (Bandung:Mizan,1998),
• Dr. Hasyimsyah Nasution M.A. Filsaft Islam. (Jakarta:Gaya Media Pratama,1998),
• MM Syarif M.A. Para Filosof Muslim. (Bandung:Mizan,1998),
----------------------------------------------------------------------------------
[1] Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung:Remaja Rosada Karya,1999), Cet.4. h.216
[2]Muhmmad Baqir ash-Shadar, Falsafatuna, (Bandung:Mizan,1998), Cet.6, h.160
[3] Osman Bakar. Hierarki Ilmu. (Bandung:Mizan,1998), Cet.3, h.258
[4] Dr. Hasyimsyah Nasution M.A., Filsaft Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,1998), Cet.1, h.130
[5] MM Syarif M.A., Para Filosof Muslim, (Bandung:Mizan,1998), Cet.XI, h.242

Diambil dari: artikeldaniklanbarisgratis.blogspot.com/2008/11/pemikiran-filsafat-nasirudin-thusi.html -