Kamis, 11 Juni 2009

Pemikiran filsafat nasirudin thusi

Bab I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada masa penghancuran politik secara besar-besaran yang diikuti dengan kemunduran inelektual, ternyata tidak secara otomatis memusnahkan intelektual seluruhnya dalam dunia Islam, setidaknya hal itu tercermin pada sosok Thusi. Beliau mampu menaklukkan keberingasan Hulagyu Khan untuk menyelamatkan khasanah pemikiran Islam.
Orang Persia mengenal Nashirudin Thusi sebagai guru manusia, sebagaimana Barhebracus (penyususn ensiklopedi kristen termasyhur yang memberikan kuliah pada observatium Maraghah) menganggapnya sebagai orang yang mempunyai pengetahuan luas di semua cabang ilmu filsafat. Bagi Ivanow, Thusi bagaikan kamus berjalan, sedangkan S.M. Afnan dalam bukunya, Avicena menganggapnya sebagai juru ulas yang paling mahir dalam mengulas buku-buku karya Ibnu Sina. Karena sejauh berhubungan dengan filsafat, Thusi merupakan otoritas terbesar dalam filsafat Ibnu Sina masa itu. Dibanding tokoh lain, dia merasa bertanggung jawab untuk menghidupkan kembali filsafat setelah dikecam oleh para teolog terkemuka semisal al-Ghazali dan al-Razi. Melalui usahanya ia berhasil menghidupkan kembali studi astronomi dan matematika dalam Islam abad ke tiga belas.
Sahabatnya sendiri ilmuwan Suryani, Ibn al-‘Ibari pernah mengatakan tentang Thusi, “Dia adalah seorang filosof yang sangat bijak, yang sangat dihormati dalam semua bidang pengetahuan. Semua badan wakaf di seluruh negara yang dikuasai Moghul berada di bawah kekuasaannya. Dia memiliki beberapa buku karangan dalam bidang logika, ilmu alam dan agama, bahkan ia memiliki tulisan tentang Euclides dan al-Majesty.[1] Nasiruddin juga menulis buku Akhlak dalam bahasa Persia yang sangat bagus. Dlam buku itu dia merangkum berbagai pernyataan Plato dan Aristoteles tentang filsafat praktis.
Nasiruddin Thusi menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa Arab dan Pars. Dia juga menulis dengan kedua bahasa tersebut. Dia dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya Arab dan budaya Persia dengan tingkat penguasaan yang sama. Thusi berusaha menegakkan kembali pemkiran-pemikiran Ibn Sina yang telah banyak dikritik oleh al-Ghazali dan al-Razi, kritik Nasiruddin Thusi secara spesifik dilontarkan kepada Lubab al-Isyarah (sebuah ulasan tentang al Isyarah wa al-Tanbihah karya Ibn Sina) yang ditulis Fakhrudin Razi.[2] Bahkan kritik al-Razi tersebut mempunyai akibat lebih lanjut dilihat dari segi teknis filosofis ketimbang serangan al-Ghazali. Thusi menulis ulasan kitab al-Isyarat wa al-Tanbihat yang ditulis oleh Ibn Sina. Usaha Thusi inilah yang memberikan pengaruh terhadap bertahannya kitab Tahafut al-Tahafut karya Ibn Rusyd.
B. Rumusan masalah
Ketika kita berbicara mengenai sosok pemikir besar ini maka ada beberapa hal yang dapat kita ketahui, yaitu dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. mengenali beliau, yaitu dengan mengetahui biografinya
2. pemikiran thusi tentang etika dan moral
3. metafisika
4. pemikiran politik
5. tentang kepemimpinan
6. dan manejemen kerumah tanggaan.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Nasirudin Thusi
Nama Nasiruddin Thusi adalah Khawajah Nasir al-Din Abu Ja’far Muhammad. Beliau dilahirkan di kota Thus 597/1201 M. Setelah menerima pendidikan dasar dia mempelajari fiqh, ushul fiqh, hikmah dan kalam, terutama al-Isyaratnya Ibn Sina dari Mahdi Farid al-Din Damat, dan matematika dari Muhammad Nasib di Nishapur, kemudian dia pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan filsafat dari Qutb al-Din, di Baghdad beliau memperdalam ilmu matematikanya dari Kamal ibn Yunus dan fiqhnya dari Slim ibn Badrn.
Thusi mencapai kemasyhuran ketika dia mampu membujuk Khulagu Khan untuk membangun observatorium yang terkenal di Marghah Azerbaijan pada tahun 658 H, yang dilengkapi dengan alat-alat yang baik. Kemudian beliau menjadi direktur pada observatorium Maraghah.[3] Observatorium ini merupakan pusat penelitian yang tepat dari tiga pusat penelitian sastra dan astronomi di Timur setelah Dar al-Hikmah di Baghdad dan Baitul Hikmah di Kairo yang didirikan oleh dinasti Fatimiyah.
Observatorium Maraghah lebih daripada sekedar tempat pengamatan astronomis. Sebuah institusi ilmiah yang lengkap, tempat hampir setiap cabang ilmu diajarkan, dan melahirkan sebagian besar ilmuwan paling terkenal pada periode abad pertengahan. Institusi ini dilengkapi dengan perlengkapan astronomis terbaik. Disamping itu terdapat juga perpustakaan besar. Menurut Ibn Syakir, perpustakaan itu mengoleksi lebih dari 400.000 buah buku.
Thusi merupakan orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu, buku akhlak Nasiruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan praktek. Pengetahuan spekulasi termasuk di dalamnya metafisika, dan matematika (optik, meteorologi, botani, zologi dan psikologi). Dan yang kedua, pengetahuan praktis yang termasuk di dalamnya etika, ekonomi, domestik dan politik. Dengan itu Thusi dikenal sebagai seorang filosof sedangkan di Barat beliau dukenal sebagai seorang astronom dan matematikawan.
Selain itu Thusi juga merupakan seorang yang jenius dan kejeniusannya itu tersebar pada kritik-kritikannya terhadap Ptolemeus yang tulisan-tulisannya banyak mengulas berbagai hal, termasulk doktrin Ismailiyah ketika ia dinas pada kaum tersebut.[4]
B. Etika/Moral
Nasir al-Din Abd Rahman, gubernur Ismailiyah dari Quhistan pernah meminta pada Nashir al-Din Thusi untuk menterjemahkan kitab Thaharah (Tahzibul Akhlaq) dari bahasa Arab ke bahasa Parsi, namun Thusi melihat pada karya Ibn Miskawaih terbatas pada moral, padahal yang penting tidak disinggung. Tetapi pada muqaddimahnya Thusi dengan terus terang mengemukakan niatnya membukukan rumusan etikanya sebagai persianisasi kitab Ibn Miskawaih tersebut. Beliau menambahkan dalam buku tersebut persoalan-persoalan manajemen rumah tangga dan politik.
Ada sedikit perbedaan antara Ibn Miskawaih dengan penerusnya Thusi. Bila Ibn Miskawaih lebih berkonsentrasi untuk mempopulerkan dan sistematisasi subjeknya, Thusi membahas relasi antara etika dengan sains-sains filosofis lainnya. Thusi mendefinisikan filsafat sebagai “ilmu tentang segala sesuatu sebagaimana adanya dan pemenuhan fungsi seseorang sebagaimana harusnya, sesuai dengan kapasitasnya sehingga jiwa manusia bisa sampai kepada kesempurnaan yang telah ditentukan”.
Pada pembahasan etika, Thusi mengatakan bahwa moral atau etika itu bertujuan mendapatkan kebahagiaan, dan hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Selain daripada itu beliau pula mengemukakan hal yang menyangkut penyakit moral seperti kebodohan, kejahatan, kemarahan, kepengecutan dan ketakutan yang semuanya berasal dari tiga: kekurangan, kelebihan dan ketidakwajaran akal.
Kebodohan menurut Thusi adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan tersebut ke dalam tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan jika untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua argumen yang saling bertentangan, dalam hal ini Thusi menyarankan agar orang yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini terjadi karena kekurang tahuan manusia akan sesuatu hal. mengira bahwa ia mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang biasa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkab; kebodohan ini akibat kekurang tahuan manusia akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya mengetahui hal tersebut.
Mengenai kemarahan, Thusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan.[5] Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan, akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidak wajaran kekuatan. Thusi telah mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak tindak tanduk dan patuh yang menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.
C. Metafisika
Menurut Thusi metafisika terdiri atas dua bagian, ilmu ketuhanan (ilmu ilahi) dan filsafat pertama (falsafah ida). Pengetahuan tentang Tuhan, akal dan jiwa merupakan ilmu pengetahuan ketuhanan, pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan alam semesta adalah filsafat pertama.
Bagi Thusi, Tuhan tidak dibuktikan secara logis, exsistensi Tuhan harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Karena mustahil bagi manusia yang sangat terbatas untuk memahami tuhan di dalam keseluruhannya, termasuk pembuktian existensinya. Persoalan mengenai apakah dunia kekal (qadim) atau diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan (hadis), merupakan masalah yang paling membingungkan dalam filsafat muslim, Aristoteles berpendapat bahwa dunia ini kekal menyifatkan gerakannya pada penciptaan tuhan, sang penggerak utama.
Thusi dalam karyanya Tashawurat melakukan suatu upaya perujukan secara setengah hati antara Aristoteles dan Ibn Maskawaih. Dia memulai dengan mengecam doktrin creatio exnihilo, dengan mengatakan bahwa tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengakaitkan eksistensi penciptaan pada dirinya. Dengan kata lain dunia ini merupakan suatu yang sama kekalnya dengan Tuhan. Di sini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal karena kekuasaan tuhan yang menyempurnakan meski dalam hak dan kekuatan sendiri, ia tercipta Muhadats.
Dalam karyanya yang belakanganm, Thusi meninggalkan sikap seraya mendukung sepenuhnya doktrin creatio exnihilo dengan menggolongkan zat menjadi “yang pasti” dan “yang mungkin”, dia mengemukakan bahwa existensi “yang mungkin” bergantung pada “yang pasti”; dan karena ia maujud akibat sesuatu yang lain darinya , maka tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam keadaan maujud, sebab penciptaan yang maujud itu tidak ada, maka begitu juga kemaujudan yang pasti itu menciptakan yang mustahil itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal yang ada itu disebut yang tercipta (muhadats).
Mengenai sumber existensi Thusi berpendapat bahwa sumber existensi adalah satu, yaitu kehendak Allah yang Maha Tinggi, yang disebut dengan “kalam”. Makhluk pertama yang tercipta langsung dengan kehendak kreatif tersebut tanpa perantara apapun ialah akal pertama. Semua makhluk lain terjadi dari kehendak ilahi dengan berbagai perantara. Jadi, jiwa tercipta melalui akal dan hyle, alam dan benda lahir tercipta melalui jiwa.
Pendapat Thusi mengenai faskultas-fakultas jiwa cenderung kepada Ibnu Sina. Eksistensi jiwa rasional menurut beliau tidak memerlukan bukti, karena ia adalah identitas yang mewujud dengan dirinya sendiri, karena wujud rasional adalah essensi dan realitasnya, yang mengetahui tanpa perantara apapun. Keterlepasannya dari organ indrawi dibuktikan dengan fakta bahwa jiwa mengetahui dirinya dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, sebaliknya organ inderawi seperti tubuh lain, digunakan oleh jiwa sebagai instrumen.
D. Pemikiran Politik
Ide-ide politik Thusi sebagian besar mengambil pemikiran al-Farabi. Bahasan beliau mengenai ilmu politik berupaya mencari asosiasi yang tertib sebagai sebuah prakondisi kehidupan yang bahagia, yang ada dalam bagian “domestik”. Tanpa asosiasi yang terdiri dari kerja sama yang saling menguntungkan yang dikontrol oleh keanekaragaman kebutuhan, masyarakat berperadaban tidak mungkin terwujud. Hal inilah yang dimaksud para filosof bahwa manusia pada dasarnya ialah hewan politik.
Karena adanya konflik aspirasi, kerakusan dan kegilaan kekuasaan yang memaksa seseorang bertindak, maka satu model otoritas manajemen (tadbir) sangat essensial dan merupakan akar organisasi politik. Jika disesuaikan dengan rule of wisdom manajemen tersebut dinamakan pemerintah ilahi. Aristoteles membedakan tiga model pemerintahan: monarki, tirani, demokrasi. Thusi menganggap yang pertama sebagai bentuk ideal mirip Plato, dia cenderung memilih aristokrasi atau pemerintahan orang utama, dengan penambahan ide-ide syiah. Jadi rajanya diperintah oleh “Petunjuk Ilahi”. Kedudukannya berada di bawah imam, atau pemimpin spiritual masyarakat, yang didefinisikan Plato sebagai pemimpin dunia.
Tingkatan asosiasi menurut Thusi berantai dari rumah tangga ke tingkat lokal, kemudian kota, bangsa dan seluruh dunia. Setiap tingkatan pasti memiliki seorang ketua, yang tunduk kepada tingkatan yang lebih tinggi, hingga mencapai “pemimpin dunia” atau yang dipertuan agung.
Akibat pentingnya asosiasi, menurut Thusi kehidupan menyendiri baik itu pertapa, asketik, berlawanan dengan moral, yang tidak hanya terdiri dari pematangan dari kesenangan manusia, tetapi hanya menghindarkan eksesnya dan ini merupakan esensi keshalehan. Orang-orang yang dengan sengaja memutuskan diri dari dunia kebersamaan tidak lebih baik dari pada objek tak bernyawa atau mayat.
Faktor yang mengikat manusia untuk bersama dan mematri mereka dalam sebuah komunitas tunggal ialah ikatan cinta. Ikatan ini berdasarkan kesatuan alamiah, dan lebih superior dibandingkan dengan keadilan, dan hanya jika cinta hilang, maka kebutuhan akan keadilan muncul.
Menurut Thusi ada dua macam cinta: cinta alamiah dan cinta voluntaris. Cinta voluntaris terbagi menjadi: (1) yang muncul dan lenyap secara cepat, (2) yang muncul cepat namun lambat lenyapnya, (3) yang muncul lambat namun cepat lenyapnya, (4) yang muncul dan lenyapnya lambat. Semua cinta itu bisa terkena perubahan dalam perjalanan waktu dan diwarnai ego dan keangkuhan. Hanya cinta kepada Allah yang dimiliki oleh filosof sejati, yang bebas dari kekurangan yang diberikan kepada hamba-hamba Allah yang terpilih.
E. Tentang Kepemimpinan
Kualitas yang mesti dimiliki pemerintah religius atau imam ialah:
1. mempunyai nasib yang baik,
2. sifat yang terpuji,
3. bijaksana,
4. bergantung kepada bantuan-bantuan yang dapat dipercaya,
5. berkemauan keras,
6. ulet da tabah, dan
7. betul-betul kaya.
Untuk menjamin pemerintahan yang tertib dan berkeadilan, seorang pemimpin mestilah menjaga kelas-kelas masyarakat yang berbeda secara seimbang. Dia tidak boleh bagaimanapun mengabaikan derajat sosial dan diskriminasi politik.
F. Manajemen Kerumahtanggaan
Salah satu pemikiran orisinal Thusi dalam meluaskan lingkup etika ialah merambah ke bidang manajemen rumah tangga. Dia mengungkapkan bahwa prinsip dasar regulasi rumah tangga terdiri dari tiga:
1. untuk memelihara keseimbangan rumah tangga yang telah terbangun,
2. memperbaiki ketidakharmonisan,
3. memajukan kesejahteraan setiap anggota secara individual sebagaimana anggota rumah tangga kolektif. Dalam kaitan ini, rumah tangga bisa diibaratkan tubuh manusia dan dokternya, yang bertugas menjaga kesehatan dan restorasi tubuhnya.
Tujuan mempunyai isteri adalah untuk memelihara kepemilikan dan untuk melanjutkan keturunan. Oleh karena itu kualitas utama seorang isteri ialah harus hemat dan subur. Di samping itu dia harus penuh kasih sayang, sederhana, sabar, dan shaleh.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nasiruddin Thusi merupakan salah seorang pemikir yang membangkitkan kembali nilai-nilai ilmu filsafat setelah pada masa sebelumnya dunia intelektualitas mengalami stagnasi akibat intimidasi dan penyerangan Hulagu Khan. Dalam masalah filsafat terutama metafisika beliau lebih banyak setuju pada pendapat Aristoteles walaupun sesekali ia mengkritik filsafatnya juga. Dan masalah etika beliau menyatakan bahwa penyakit moral itu merupakan penyimpangan-penyimpangan jiwa dari keseimbangan, dan penyebab penyakit moral ialah salah satu dari tiga hal: keberlebihan, keberkurangan, dan ketidak wajaran akal. Akhirnya walaupun kita tau bahwa nasirudin ini seorang pemikir besar, namun kita harus tetap mengoreksinya jika kita ingin menjadikan pemikiran beliau sebagai dasar-dasar untuk melakukan ibadah. Acuan kita tetaplah al-qur’an dan hadits, karena ada satu riwayat yang menceritakan ketika amr bin ash menanyakan masalah buku filsafat kepada umar bin khattab. Kata sayyidina umar, jika didalam filsafat itu tidak sesuai dengan Al-qur’an maka lenyapkanlah. Dan seandainya adapun, maka Al-qur’an yang telah mencukupinya . Mudah-mudahan kita selalu mendapat petunjuk dari Allah swt, amin.



DAFTAR PUSTAKA

• Husain Ahmad Amin. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. (Bandung:Remaja Rosada Karya,1999),
• Muhmmad Baqir ash-Shadar. Falsafatuna. (Bandung:Mizan,1998),
• Osman Bakar. Hierarki Ilmu. (Bandung:Mizan,1998),
• Dr. Hasyimsyah Nasution M.A. Filsaft Islam. (Jakarta:Gaya Media Pratama,1998),
• MM Syarif M.A. Para Filosof Muslim. (Bandung:Mizan,1998),
----------------------------------------------------------------------------------
[1] Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung:Remaja Rosada Karya,1999), Cet.4. h.216
[2]Muhmmad Baqir ash-Shadar, Falsafatuna, (Bandung:Mizan,1998), Cet.6, h.160
[3] Osman Bakar. Hierarki Ilmu. (Bandung:Mizan,1998), Cet.3, h.258
[4] Dr. Hasyimsyah Nasution M.A., Filsaft Islam, (Jakarta:Gaya Media Pratama,1998), Cet.1, h.130
[5] MM Syarif M.A., Para Filosof Muslim, (Bandung:Mizan,1998), Cet.XI, h.242

Diambil dari: artikeldaniklanbarisgratis.blogspot.com/2008/11/pemikiran-filsafat-nasirudin-thusi.html -

0 komentar:

Posting Komentar